Tatapan nanar dari lensa yang dipantulkan lewat
kaca reflektor itu membuat bayangan yang dipantulkan seketika mengelus mahkotanya
dengan lembut. Bibirnya yang tipis kemerahan menyerupai lengkung bulan sabit. Manis
sekali. Aku dan bayangan yang masih saling menatap lekat satu sama lain ,
meneliti paras yang nyatanya sedari tadi telah diperhatikan rinci. Tak ada yang
salah disana, hanya terlampau hambar mendapati diri duduk sendiri di balik meja
kayu coklat berbahan jati dalam teduhan sebuah kedai kopi. Kenapa? Mungkin telepati.
Buih-buih yang meletup dari dalam
dua cangkir robusta panas, sengaja kupesan panas bukan hangat karna mungkin aku
akan lama duduk termangu di sudut sini. Mengulang plot-plot yang sering kita
bicarakan dulu, yang kemudian kau tertawa lepas karna mendengar rencana plot-ku
terlalu liar, yang kemudian kau menyeruput sedap robusta di cangkirmu dengan
tarikan pelan-pelan yang mengusik keheningan. Masih lekat dalam benak bagaimana
kita mengubah waktu menjadi musuh yang tak perlu diingat. Kau ingat? Pantulan
bayangan dari kaca reflektor itu kian mengembangkan bibirnya menjadi sejenis
tawa sinis yang mengisyaratkan kata ‘tidak mungkin’.
Sorot lensa menjatuhkan pandangan
pada rentetan hujan yang jatuh tergesa-gesa dibalik jendela kayu tanpa kaca.
Tempiasnya masih mampu menghampiri meja kayu coklat yang kududuki kurang lebih
27 menit yang lalu. Kubiarkan air langit itu menjadi bagian meja kayu coklat
yang telah kukuasai. Mungkin begitu caramu dulu, hingga membuatku rela memberikan
sebagian daerah dari meja kayu coklat yang kukuasai menjadi singgasanamu untuk
melambungkan sajak yang diam-diam kusukai. Aku ingat bagaimana kau menghampiri,
ah tepatnya aku ingat hari-hari itu, tanggal-tanggal itu pada tahun lalu yang
telah terlewati.
Aku ingat hari dimana hujan
bertandang cukup deras, mengaliri galaksi kita yang katamu lelah kau pijaki. Sungguh,
aku tidak tahu kalau hujan bisa menjadi alasan seseorang untuk tetap bertahan
hidup.
“kau tahu, aku sudah penat untuk
hidup, aku merasa tak enak pada bumi, numpang di punggungnya eh malah kita
bikin kotor, bikin rusak. Hahaa, dasar yaa manusia”.
“terus kenapa kamu masih hidup?”
“karna dia” sembari kau
mengeluarkan tangan di jendela kayu hingga reruntuhan hujan membuatnya basah.
“alasannya?” tanyaku penasaran.
“karna dia bikin tumbuhan hidup,
bikin hewan dihutan bisa minum, bikin orang yang gak bisa mandi bisa mandi
karna digalaksi kita air pun harus dibeli” jawabmu sambil menyandarkan punggung
ke kursi yang kau duduki.
“jadi?”
“aku pengen hidup biar bisa
nikmatin hujan lebih lama. Di neraka nanti, mana bisa menikmati hujan?”
“hahaaa, kamu aneh”
“gaklah, oh yaa satu lagi, aku
suka hujan karna bentuknya, cara jatuhnya, caranya mendarat dengan malu-malu
dipunggung bumi, cara mereka berpadu hingga melebur dengan tanah yang kemudian
basah, aku rasa bumi telah menantinya lama, berharap cepat dipertemukan ketika
dia masih bergelantungan dengan bungkusan partikel putih yang disebut awan, dan
ketika menyatu menjadi satu tubuh, kau dapat menerka rasanya bukan? Yah,
romantis sekali” katamu mantap kemudian tersenyum lebar setelah kau seruput
robustamu.
Hari itu, 03 desember 2014. Cengang
aku dengarkan racauanmu. Kau tipe orang yang banyak bicara, kau sendiri yang
mengakuinya. Dan telah aku buktikan dikali pertama kita bertemu, di balik atap
kedai kopi, di sudut ini, di meja kayu coklat yang telah kukuasai. Aku ingat
bagaimana caramu mampir di sudut sini. Aku ingat bagaimana kau membuka
percakapan dengan celotehan khasmu. Aku bahkan masih sangat ingat kontur tubuh
semampaimu yang datang menghampiri.
Hujan runtuh lagi dengan curah
yang lebih sedikit dibandingkan tempo hari. Kala itu tanggal berada di posisi 6
di desember di tahun ke 14 setelah angka 2000. Yah, 6 desember 2014. Kebetulan
yang diam-diam kusyukuri. Kau mampir lagi di meja kayu coklat, di sudut ini.
Hari itu kau masih saja sama, penceloteh dengan berpuluh kata setiap menitnya.
Dan aku, masih cengang dengan celotehan indahmu yang mengagumkan, serta
tanggapan liarku yang kemudian kau tuding sebagai bentuk kesesatan yang
terkendali. Ahahaa, aku suka kau menerjemahkannya demikian. Dan kita, masih
dengan dua cangkir robusta, bertukar pikir, tertawa lepas, mengagumi hujan
hingga mendefinisikan waktu berjalan lamban.
Kau tahu? Aku masih ingat hari
dimana kita melantiknya sebagai hari pengagum hujan se-antariksa. Kemudian kita
sadurkan lewat aksara dalam tubuh kertas bergaris. Sekonyong-konyongnya kita
memang menyepakatinya.Yah di tanggal ke 29 pada tiap-tiap bulan. Tanpa
berpikir, akankah di bulan berikutnya kau berkunjung? Bukan bulan tapi setelah
angka 29, kau hilang bagai pekat disapu malam.
29 januari 2015
Hari ini, aku kembali di meja
kayu coklat yang kukuasai. Sebenarnya ini bukan yang pertama kali, telah banyak
waktu yang ku jejaki sengaja menantimu disaat hujan hadir menyentuh bumi. Tapi,
nihil. tiada hasil. Aku sengaja memesan dua cangkir robusta yang tadinya panas.
Tentu, secangkir ku peruntukkan untukmu. Tapi lagi-lagi hanya bisa kupandangi
kalap tanpa gairah kucicipi. Kenapa kau tak kunjung muncul? Penceloteh kisah
terhebat. Apa mungkin kau tak lagi suka hujan? Apa kau tak suka sudut ini lagi?
Coba katakan apa yang kau suka, agar aku juga dapat menyukainya hingga kita
bisa mengaguminya bersama.
Dan seharusnya, telepati yang
mengantarkanku tiap ke sudut ini, ke meja kayu coklat berbahan jati yang
kukuasai, mampu menjelaskan, kenapa detik ini kau tak kunjung hadir? Tolong,
jangan jadikan kisah ini drama picisan pungguk merindukan bulan, atau kisah
bulan merindukan matahari. Aku bukan pungguk dan aku tak setegar sang bulan.
Kau tahu? Aku menantimu seperti
bumi menanti tetesan hujan mengecupnya.
Kau tahu? Telah kusiapkan kalimat
terbaik untuk ku ucapkan sebagai gambaran perasaan.
Kau tahu? Rongga di bagian bawah
diafragma kini menjamur rindu-rindu padamu yang mengakar.
Kau tahu? Aku tak
pernah suka hujan. Aku suka hujan, karna kamu menyukainya.
Di sini ada disebut TELEPATI. Di paragraf terakhir ya. Heiheihiee,. Saya pernah menjajal TELEPATI yang saya pelajari sendiri dari buku. Hmmmmm. Mau diceritakan di blog kayaknya ya.
ReplyDeletediparagraf pertama jga disebutin loh, hihiii
Deletegak kok, cma disentil sedikit aja, gak untuk diceritain scra utuh.
ah menyukai hujan karena si dia suka hujan. banyak yang seperti itu sih demi si dia yang disukai hihi
ReplyDeletehehee
Deletemakasih yaa udah mampir.
Hujan selalu memberikan banyak perihal :)
ReplyDeletemerindu salah satunya :)
ReplyDelete