Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2015

Feromonmu

Semerbak aroma perpaduan embun dan tanah basah pagi ini begitu menyejukkan. Aku mendenguskan indera penciuman agar bisa menghirupnya lebih dalam. Sekelabat aroma itu menggoda untuk ku sapa, memercikkan keinginan untuk membelai embun yang sengaja singgah di pelepah daun, menapaki tanah basah yang kutau menggigilkan lapisan epidermis kulit. Aroma yang begitu ingin ku jejaki dari balik selimut nyamanku pagi ini. Hanya saja, ada sesuatu yang lebih membuatku terbius untuk terus beradu dalam selimut putih dengan corak bunga krisan yang membungkus tubuhku. Ada aroma lain yang hadir. Aroma lain yang ku kenal. Yang kemudian menjalar bagai candu dalam sistem peredaran darahku. Tidak tau kenapa aroma ini begitu mengganggu pagi ini. Aroma khas yang jelas ku hafal. Tidak sesejuk aroma embun dan tanah basah setiap pagi memang. Namun, menghirupnya mampu menenangkan gelombang dalam dada yang mengamuk minta dipertemukan. Aroma yang mampu merasuki bagian terkecil dalam relung hingga letupannya

Gadis Mustika bantal

Dia memandangi tulisan di balik layar terang itu dengan seksama. Memperhatikannya rinci satu demi satu. Raut wajahnya begitu cemas tapi ada gurat harapan pula di sana. Aku yang sedari tadi memperhatikannya pun ikut terbawa suasana, gelisah dan khawatir, bukan pada apa yang sedang diperhatikannya rinci tapi lebih kepada dia kalau-kalau semua tidak sesuai harapannya. Dia menggigit bibir bawahnya pertanda dirinya makin cemas. Dan yah, wajahnya berubah warna sembari membenamkan wajahnya dalam kedua telapak tangannya. Aku sudah dapat menebak apa hasilnya. Ah, kalau saja aku bisa, sedari tadi aku telah hadir sebagai pelukan dari belakang. Menarik napas panjang, menengadahkan kepala dan kemudian menangis sejadi-jadinya. Itulah yang akan dia lakukan selanjutnya. Aku telah mengenalnya lama dan aku mengenalnya lebih baik dari siapapun juga. Tentu saja, orang lain perlu iri akan hal itu.  Gadis itu pun menarik napas panjang, menengadahkan kepala dan menutup lekat kedua matanya. Tapi,

Karna hujan(mu)

Tatapan nanar dari lensa yang dipantulkan lewat kaca reflektor itu membuat bayangan yang dipantulkan seketika mengelus mahkotanya dengan lembut. Bibirnya yang tipis kemerahan menyerupai lengkung bulan sabit. Manis sekali. Aku dan bayangan yang masih saling menatap lekat satu sama lain , meneliti paras yang nyatanya sedari tadi telah diperhatikan rinci. Tak ada yang salah disana, hanya terlampau hambar mendapati diri duduk sendiri di balik meja kayu coklat berbahan jati dalam teduhan sebuah kedai kopi.   Kenapa? Mungkin telepati.  Buih-buih yang meletup dari dalam dua cangkir robusta panas, sengaja kupesan panas bukan hangat karna mungkin aku akan lama duduk termangu di sudut sini. Mengulang plot-plot yang sering kita bicarakan dulu, yang kemudian kau tertawa lepas karna mendengar rencana plot-ku terlalu liar, yang kemudian kau menyeruput sedap robusta di cangkirmu dengan tarikan pelan-pelan yang mengusik keheningan. Masih lekat dalam benak bagaimana kita mengubah waktu menjadi m

Dariku untukmu.

Aku harap kau menyimak tulisan ini dengan seksama. Kumohon perhatikan tiap paragraf, kalimat bahkan aksara yang nanti terukir selanjutnya. Dan jangan tanya kenapa. Aku ingin pergi, sejauh mungkin dimana kau tak dapat lagi untuk ku jangkau. Atau tempat dimana aku tak bisa lagi kau kejar. Aku ingin pergi, lari sejauh jauhnya hingga jarak tak lagi bisa kita definisikan dengan angka. Bahwa semesta pun beranggapan mustahil mempertemukan kita. Aku tau, tidak akan mudah untuk kita satu sama lain. Hanya aku sadar bahwa tidak semua yang kita sukai, cintai, ingini selalu berdampak baik untuk masing-masing dari kita. Aku ingin kau pun menyadarinya. Kau mungkin tidak tahu, sepertinya sejauh ini kita hanya berpikir bagaimana agar kita bisa selalu dekat, selalu bersama tiada akhir. Bukankah kalimat pun ada spasi dan titiknya? kalimat bukanlah apa-apa jika tak ada ruang kosong diantaranya dan kalimat bukanlah kalimat jika tidak ada akhirnya. Jadi, anggap saja aku sedang menambahkan spasi d

menanti Matahari

"kata mereka kita berbeda” “mereka belum tahu apa arti perbedaan” “kata mereka kita mustahil untuk bersama” “mereka belum merasakan apa itu cinta” “kata mereka kita tidak akan pernah bisa bersatu” “mereka belum mengerti apa itu menanti” “tapiii…” Dia kemudian membelai kulitku lembut dengan fraksi-fraksi sinarnya, rasanya hangat, seketika aku mulai bercahaya karnanya. bodoh, aku tak ingin menghiraukan kicauan para bintang. Biarlah 1000 tahun lamanya, aku akan tetap menanti untuk memelukmu. Matahari. Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.

itu kamu.

Masih terlekat jelas, bisikan manismu tempo lalu “saya sayang kamu, nis” “saya juga sayang kamu, tapi…” “sabarlah, saya akan kembali padamu nanti, sekarang saya perlu pengertianmu” Ah, aku tutup mata rapat-rapat sembari merasakan kecupan tempo lalu dikeningku yang masih berbekas. Aku masih termangu di depan TV, melihat sosok pria dengan kekasihnya yang bercerita panjang lebar di balik layar kaca. “iya kami akan menikah seminggu lagi, doakan semuanya lancar” Itu kamu.  Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.

Jangan lelah hati.

"selamat kamu berhasil" "saya belum berhasil" "setidaknya kamu selangkah lebih maju" "saya malah merasa 10 langkah lebih mundur" "ayolah, kamu beruntung telah melewatinya" "saya berharap melewatinya lebih baik" "tidak apa-apa, toh semua orang juga akan begitu, hanya faktor nervous" "saya bukan nervous, tapi bodoh" "tidak, tidak, jangan berpikir seperti itu" "nyatanya seperti itu" "jangan terlalu dipikirkan. mungkin kamu terlalu lelah" "tidak. saya hanya ingin mengulangnya kembali" "sudahlah. kamu lelah. istirahatlah" kemudian, wanita itu tersenyum dengan ragu-ragu. sepertinya dia tak butuh orang lain untuk terus menguatkan, dia hanya butuh dirinya sendiri untuk terus merasa kuat.. ah, terima kasih hati tak lelah terus menguatkan.