Entahlah. seketika kenangan itu kembali terlintas sembari memoar rasa bersalah yang mendalam. ah, lebih tepatnya rasa bersalah akan kemenangan yang rasanya begitu sulit diraih.
tentu, tulisanmu pemacunya. atau lebih tepatnya kamu. yah kamu pemacunya.
memaksaku memasuki dimensi yang seharusnya sudah menjadi sejarah, kenangan yang tak sepantasnya kau ingat sejauh ini. iya, INGAT. kutulis sekali lagi INGAT. bahkan untuk mengingatnya tidak pantas lagi kau lakukan.
kau tahu, ada banyak hal yang sebenarnya inginku sampaikan padamu. inginku jelaskan panjang lebar. kejelasan tentang kisah yang seharusnya telah jelas dari 1404000 detik yang lalu. akan kujabarkan sepanjang, serinci dan sedetail yang kubisa. itu yang kau mau bukan? jabarkan, jelaskan, uraikan, dan seperangkat kata yang menurutmu membuat otak manusia terlilit kata rumit. oh, akan kulakukan untukmu. AKAN KULAKUKAN!
kau tahu, untuk memulai ini seharusnya kau perlu menguatkan diri terlebih dahulu. hmm, sebaiknya.
oh yaa? sebenarnya aku bingung ingin memulainya dari mana, maklum kisah ini terlalu dalam, kisah yang kau sebut cerita romansa dalam skenariomu. itu salah. kisah romansa ini dirancang oleh Tuhan, bukan olehmu. dan tentu saja kami pemeran utamanya. aku dan dia. yang semestinya kau tak perlu menguatkan batin untuk menyangkalnya. karna itulah kenyataannya. dan tau apa posisimu? penonton? bukan. kau figuran (meski lebih ingin menyebutnya antagonis). selamat, sekali lagi kau salah.
ini memang dimulai olehmu. awal yang baik bukan? karna peranmu punya arti penting untuk seorang figuran. karna kisahku memang dimulai setelah kisahmu. bukan begitu? terima kasih pada kisahmu yang tak pernah inginku tahu. bahkan sampai kisahku semakin kuat dan berlanjut menjadi bukan sekedar kisah fiktif berepisode tapi kisah yang kuat dan berkomitmen hingga detik ini. kurasa kau perlu mencanangkan kalimat terakhir itu dalam benakmu.
selanjutnya...ah haruskah kulanjutkan?
aku tak sejahat itu. aku tak ingin menyakitimu. aku tahu seberapa besar rasamu. tapi kau juga perlu tahu rasa itu tidak akan menjangkau balas seperti selayaknya harapmu. rasa itu hanya ilustrasi berkelanjutan yang kau biarkan tumbuh liar dalam tubuhmu yang mungil. rasa itu hanya fantasi yang memang pada dasarnya selalu terlihat nyata padahal tidak. rasa itu angan-angan. rasa itu ilusi. sadarlah.
bukan aku tak paham. aku sangat memahamimu bahkan ketika kau tak pernah mencoba memahamiku. aku memahamimu sebagai seorang teman, seorang kakak dan seorang wanita yang sama-sama perasa. mungkin itu sebabnya aku tak pernah bisa menyalahkanmu atas perasaanmu yang memuakkan itu. sungguh, itu menggangguku. dan aku tahu kau tak pernah ingin tahu akan rasaku. iyakan?
bodoh. itu untukku, karna tak pernah tega untuk membalasmu, tak pernah tega membiarkanmu sakit sama seperti rasa sakit yang coba kau cambukkan ke punggungku tanpa kau tahu aku sudah resisten dengan hal-hal semacam itu. ah, rasa iba pada manusia.
aku juga tak sebaik itu. kau tahu? rasa iba itu muncul karna dia. karna aku lebih mengenalnya jauh bagaimana kamu mengenalnya. aku tahu karna memang sudah sepantasnya aku harus tahu. gunung yang terus kau kelilingi untuk mencari sosoknya yang hilang dan berharap menemukannya di sisi yang lain. hhh, percuma kakak. dia ada di gunung lain, di gunung seberang sedang menguatkan pijakan untuk didaki, menyusun strategi agar mencapai puncak dengan menggenggam erat tanganku. sudah kukatakan, aku tahu. karna sekali lagi, aku lebih mengenalnya jauh dari bagaimana kamu mengenalnya. maaf, aku tak bisa membuat paragraf ini lebih lembut, agar tak menyakitimu.
hei, mungkin kau perlu seseorang yang bisa menuntunmu hingga mencapai puncak. yang mungkin bisa menggenggam erat tanganmu sama seperti yang pernah dia lakukan dulu, duluuuu sekali, saat ternyata genggamanmu tak cukup kuat untuk membuatnya tetap bertahan.
Dia masih milikku, selalu milikku dan akan selalu begitu (insya allah)
mungkin kau perlu pernyataan ini untuk memperjelas segalanya. ah tidak tidak. bukankah sudah jelas dari awal? kau memerlukannya untuk siuman dan berhenti merasakan sensasi fantasi yang fiktif. yah, you need it!
kakak. baik-baik yaa. jangan memikirnya terlalu sering.
Comments
Post a Comment