Selamat pagi maa...
Ini surat pertama yang kutuliskan untukmu. Sebenarnya hal ini sudah sangat lama ingin ku lakukan hanya saja aku tak begitu yakin kau ingin membacanya. Ah, paragraf ini membuatku merasa canggung untuk terus menulis.
Ini surat pertama yang kutuliskan untukmu. Sebenarnya hal ini sudah sangat lama ingin ku lakukan hanya saja aku tak begitu yakin kau ingin membacanya. Ah, paragraf ini membuatku merasa canggung untuk terus menulis.
Sebelumnya aku minta maaf telah
mengganggu waktu senggangmu hanya untuk sekedar membaca surat lusuhku. Aku
hanya ingin menyapamu, menanyakan kabarmu, bagaimana lingkunganmu, baikkah
orang-orang disekitarmu, dan sederet pertanyaan yang biasa ditanyakan
teman-temanku pada orang tua perempuan yang biasa mereka sapa Mama itu. Saat
ini pasti kau berpikir untuk melipat surat usangku dan melanjutkan perbincangan
indahmu dengan Tuhan di hamparan taman Firdaus. Kumohon bacalah walau dengan
enggan.
Kabarku baik maa, alhmdulillah.
Papa juga, bahkan sekarang papa tambah gemuk. Oh aku lupa, tak perlu
mendefinisikannya karna tentunya kau lebih sering memperbincangkannya dengan
Tuhan.
Mungkin kau akan bertanya, kenapa
di awal surat ini ku pakai salam “selamat pagi” bukan “Assalamualaikum” yang
selalu kau ajarkan dulu. Aku sudah tau kau akan bertanya, itu memanglah sengaja
agar surat ini mengganjalmu di awal kau membacanya. Itu bukti kalo sekarang aku
bukan gadis kecilmu yang dulu lagi. Sekarang aku tinggal perantauan maa, dimana
semua orang menggunakan salam “selamat pagi” karna dinilai universal dan bisa
diterima semua jenis ras dan agama ketimbang “Assalamualaikum”, tapi tentu saja
tak pernah kulupa untuk tetap memakainya di momen-momen tertentu. Bukankah itu
yang selalu kau ajarkan dulu? Hmm, sebenarnya aku malu mengungkapkan ini tanpa
kau bertanya terlebih dahulu. Ah, maaf membuat keadaan terasa makin canggung.
Sebenarnya ada banyak hal yang
bukan hanya sekedar inginku tanyakan tapi ingin ku perbincangkan panjang lebar
denganmu. Terutama tentang teman pria yang sangat enggan ku perbincangkan dengan
Papa. Aku juga sangat ingin bercerita tentang teman-teman perempuan dan rasa
iri ku terhadap mereka karna mereka punya Mama yang selalu mereka andalkan
disetiap waktu dan kondisi.
Aku mungkin tumbuh menjadi gadis
egois dan pendiam. Apa yang salah dengan itu maa.. kurasa tak ada. Semoga kau
pun berpikir demikian. Jujur saja sikap
itu tumbuh karna rasa sayangku terhadapmu, rasa sayang yang begitu membuncah
sehingga untuk bertukar cerita dan kasih dengan orang lain aku tak mau. Aku
hanya ingin menyimpan semua cerita dan cinta ini untukmu nanti. Tentu saja ini
bukan salahmu.
Sejujurnya, saat kau pergi dulu
aku sempat membencimu. Aku benci karna kau pergi tanpa meminta izin dariku. Aku
benci dengan kepergianmu yang tanpa pamit sekalipun. Aku benci kau pergi
diam-diam tanpa mengajakku. Sampai kemudian aku sadar, ternyata kau pun tak
pernah ingin pergi. Kau di paksa atas kekuasaan-Nya dan itu diluarkuasamu untuk
menolak. Tentu saja ini bukan salah-Nya.
Sepertinya surat pertama ini sekaligus
mewakili segala rasa maafku yang tak sempat ku ucapkan, tak sempat kuutarakan
dulu. Serta pikiran-pikiran kotor yang bernaung selepas kepergianmu yang
seharusnya tak pernah pantas untuk dipikirkan. Maaf maa. Sungguh aku minta
maaf.
Sampai disini dulu suratku maa,
maaf surat ini terasa begitu canggung. Aku terlalu gugup untuk menyuarakan
rasaku. Atau mungkin aku terlalu senang karna akhirnya aku punya cukup
keberanian untuk menyapamu. Aku rindu maa, bagaimana denganmu?
Kalau waktu senggangmu cukup
panjang, tolong balas surat ini ya maa. Aku sangat berharap.
Oh yaa, seperti biasanya surat
ini kutitipkan bersama Doa untukmu lewat Tuhan. Ini karna aku selalu diberikan
cukup ruang untuk berbincang denganNya, kesempatan yang tidak bisa kulakukan
denganmu.
Hmm, sudah kau terimakan maa?
Comments
Post a Comment