Skip to main content

Posts

Jarak dan perasaan yang harus diperangi.

Apa kamu pernah merasa sepi bahkan ketika berada di keramaian? Kata orang sepi itu damai, dan damai itu tenang. Itu benar. Di saat sepi,  bagi diriku sendiri adalah waktu yang pas untuk melakukan segalanya. Melamun,  menangis,  tertawa, bermimpi,  semuanya. Seakan bisaku lakukan begitu saja dengan mudahnya. Aku bisa menulis beratus ratus halaman ketika sepi. Aku bisa tertawa lepas, terbahak bahak jika aku mau. Menangis sesekali jika perlu. Bagiku sepi itu teman terbaik ketika menuangkan perasaanku menjadi sebuah karya. Apapun itu. Namun, seperti koin yg selalu punya dua sisi yang berbeda.  Kesepian pun demikian.  Bagaimana jika kau masih merasa sepi ketika nyatanya kau berada di keramaian? Belum lama tapi sungguh mengganggu. Ketika dirimu ternyata menolak keramaian yang seharusnya kau nikmati. Keramaian yang seharusnya mampu menghiburmu. Keramaian yang ah sia-sia saja,  sekarang pun tetap terasa sepi.  Sudahlah.  Bagiku kesepian itu kata lain dari sendiri.  Dan tentu saja sendiri tida
Recent posts

Tanda Tanya Di Jam 12 Malam.

Apa perasaanmu masih sama? pertanyaan itu begitu mengaung hebat di kepala, memberontak dan ingin sekali diutarakan. Tapi entah kenapa seluruh saraf yang menghubungkan tempurung kepala hingga pertanyaan itu berada di ujung lidah tiba-tiba kehilangan fungsi agar bisa dilafalkan dan dilontarkan bibir dengan suara nyaring. Bibir tidak menurut. Bergeming. Beku. Diam tanpa kata. Kenyataannya hidup memang selalu memiliki persimpangan-persimpangan. Kita tidak pernah tahu arah mana yang tepat sehingga takdir akan selalu memihak dan perjalanan hidup tetap mulus tanpa hambatan. Aku mungkin satu-satunya manusia yang ditakdirkan selalu mendapati persimpangan tersebut dengan memilih persimpangan yang hampir semua buruk. Kadang yang kudapati jurang yg curam, kadang tebing terjal, bahkan terkadang jalan buntu. Ah, pilihan yang sama sialnya. Mungkin aku tidak pernah ditakdirkan untuk memilih sebab semua yang berhubungan dengan perkara memilih, selalu membawaku pada keterpurukan panjang dan kepedihan

Maaf, Aku gagal.

Aku telah kehilangan banyak harapan semenjak 'hari bahagia' itu. Aku terus bertanya hingga lengah, kenapa harus aku? kenapa kegagalan ini harus terjadi? bukankah proses tak pernah mengkhianati hasil? lalu kenapa? begitu banyak pertanyaan yang mengambang dalam otak, bercampur, membaur bersama frustasi dan rasa pedih yang teramat sangat.  Sungguh, luka yang tertoreh kali ini, aku tak bisa menjelaskan bagaimana rasanya, apalagi bentuknya yang kini telah porak-poranda. Bagaimana tidak? Seluruh usaha serta semangat tak berujung telah kukerahkan untuk mencapai mimpi yang bergelantungan didepan mata selama 3 tahun terakhir ini, namun hasilnya nol besar, nihil. Aku sungguh-sungguh telah kehilangan gairah untuk membuat segalanya menjadi biasa-biasa saja.  Aku tak tahu harus berbuat apa lagi selain menjadikan mimpi itu nyata. Karna sesungguhnya mimpi itu bukan milikku sendiri, mimpi itu milik semua orang termasuk keluarga yang begitu mengharapkannya. Dan tentu saja aku tak ingin

Penyembuh Harapan

Aku pernah begitu meyakini apa-apa saja yang hadir dan masuk kedalam kehidupan kita punya alasan masing-masing sehingga kita bisa menjadi satu sosok baru yang lebih baik. Dan bagiku itu sudah menjadi hukum alam yang biasanya dihantarkan lewat orang-orang yang ada di sekitar kita. Begitulah yang kuyakini sebelum hari ini.  Setelah melewati beribu-ribu detik yang kulalui dengan otak yang dipaksa untuk berpikir keras, aku sadar, dari jejeran orang tersebut, ada satu sosok yang akan membuat kita menjadi tidak lebih baik dari diri kita yang sebelumnya. Walaupun aku sendiri begitu yakin bahwa nantinya satu sosok itu bisa menghantarkanku menjadi lebih baik diwaktu yang entah kapan. Namun, aku sungguh sangat bodoh dalam hal berbohong, apalagi membohongi diri sendiri, aku takkan bisa menyangkal bahwa memang satu sosok yang begitu kuharapkan untuk dapat membimbingku ke jalan yang lebih baik, lebih indah, lebih bijaksana adalah satu sosok yang malah menggiringku ke arah yang berlawanan. 

Aku Tahu Tempatmu.

Mulut bertaji membuat telinga pekak. mengalir bagai lahar panas melewati pembuluh darah. Sesak! seketika jantung bak di hunuskan pedang tumpul berkarat. ditusuk, disayat tanpa belas kasih. Kalau saja bisa, sudah ku robek mulut penuh kotoran menjijikkan itu. Mulut penuh bisa yang membinasakan. Aah, walaupun bisa takkan kubiarkan tanganku kotor hanya untuk menyentuh mulutmu yang bertahi.  Aku berang. Seakan mulutmu inginku cincang dan dijadikan makanan hewan. lebih layak bukan? daripada kau menggunakannya hanya untuk mengoyak habis perasaan orang-orang tak bersalah. Mulut yang menyerang bagai godam berpuluh-puluh ton tepat di sanubari. Sakit! Mungkin kau memang berpendidikan, tapi mulutmu tak ada bedanya dengan binatang yang tak punya otak dan pikiran. Dangkal! usiamu pun begitu, entah sepanjang umurmu kau gunakan untuk apa, sana sekolahin tuh mulut, biar bener. Bego! Dimana bentuk penghargaan serta kesyukuranmu pada Tuhan hingga bisa menggunakan salah satu bentuk ciptaannya d

Sang Jarak

Aku suka membicarakanmu walau tak pernah menyebutkan namamu dengan gamblang, ah bukan lebih tepatnya mendengar tentangmu yang sering mereka bicarakan. Terang saja,  aku tak mengenalmu cukup baik untuk sekedar mengisi penilaian atau ikut mencitrakan bagaimana tepatnya rupamu. Hanya saja, dari segala sumber yang sempat kutangkap, kau tergambarkan seumpama sekat kosong yang perlahan-lahan menawarkan rasa haus akan satu rasa, mereka menyebutnya rindu. Pernah aku menyinggungmu disalah satu tulisanku. Yah, kutuliskan namamu dengan rapi, hanya secuil tapi sangat terpatri dalam benak. Dan kali ini tidak tanggung-tanggung aku menulis tentangmu lagi. Bahkan mungkin kali ini aku terlalu berani. Mungkin karna sebentar lagi aku akan menjadi salah satu orang yang akan membicarakanmu dengan kobaran semangat berapi-api. Seseorang yang nanti akan merasakan bagaimana sekatmu mempengaruhi tiap satuan waktu yang akan kulewati nanti. Mungkin. Hanya saja, ada banyak hal yang membuatmu teramat mengg

Feromonmu

Semerbak aroma perpaduan embun dan tanah basah pagi ini begitu menyejukkan. Aku mendenguskan indera penciuman agar bisa menghirupnya lebih dalam. Sekelabat aroma itu menggoda untuk ku sapa, memercikkan keinginan untuk membelai embun yang sengaja singgah di pelepah daun, menapaki tanah basah yang kutau menggigilkan lapisan epidermis kulit. Aroma yang begitu ingin ku jejaki dari balik selimut nyamanku pagi ini. Hanya saja, ada sesuatu yang lebih membuatku terbius untuk terus beradu dalam selimut putih dengan corak bunga krisan yang membungkus tubuhku. Ada aroma lain yang hadir. Aroma lain yang ku kenal. Yang kemudian menjalar bagai candu dalam sistem peredaran darahku. Tidak tau kenapa aroma ini begitu mengganggu pagi ini. Aroma khas yang jelas ku hafal. Tidak sesejuk aroma embun dan tanah basah setiap pagi memang. Namun, menghirupnya mampu menenangkan gelombang dalam dada yang mengamuk minta dipertemukan. Aroma yang mampu merasuki bagian terkecil dalam relung hingga letupannya