Apa kamu pernah merasa sepi bahkan ketika berada di keramaian? Kata orang sepi itu damai, dan damai itu tenang. Itu benar. Di saat sepi, bagi diriku sendiri adalah waktu yang pas untuk melakukan segalanya. Melamun, menangis, tertawa, bermimpi, semuanya. Seakan bisaku lakukan begitu saja dengan mudahnya. Aku bisa menulis beratus ratus halaman ketika sepi. Aku bisa tertawa lepas, terbahak bahak jika aku mau. Menangis sesekali jika perlu. Bagiku sepi itu teman terbaik ketika menuangkan perasaanku menjadi sebuah karya. Apapun itu. Namun, seperti koin yg selalu punya dua sisi yang berbeda. Kesepian pun demikian. Bagaimana jika kau masih merasa sepi ketika nyatanya kau berada di keramaian? Belum lama tapi sungguh mengganggu. Ketika dirimu ternyata menolak keramaian yang seharusnya kau nikmati. Keramaian yang seharusnya mampu menghiburmu. Keramaian yang ah sia-sia saja, sekarang pun tetap terasa sepi. Sudahlah. Bagiku kesepian itu kata lain dari sendiri. Dan tentu saja sendiri tida
Apa perasaanmu masih sama? pertanyaan itu begitu mengaung hebat di kepala, memberontak dan ingin sekali diutarakan. Tapi entah kenapa seluruh saraf yang menghubungkan tempurung kepala hingga pertanyaan itu berada di ujung lidah tiba-tiba kehilangan fungsi agar bisa dilafalkan dan dilontarkan bibir dengan suara nyaring. Bibir tidak menurut. Bergeming. Beku. Diam tanpa kata. Kenyataannya hidup memang selalu memiliki persimpangan-persimpangan. Kita tidak pernah tahu arah mana yang tepat sehingga takdir akan selalu memihak dan perjalanan hidup tetap mulus tanpa hambatan. Aku mungkin satu-satunya manusia yang ditakdirkan selalu mendapati persimpangan tersebut dengan memilih persimpangan yang hampir semua buruk. Kadang yang kudapati jurang yg curam, kadang tebing terjal, bahkan terkadang jalan buntu. Ah, pilihan yang sama sialnya. Mungkin aku tidak pernah ditakdirkan untuk memilih sebab semua yang berhubungan dengan perkara memilih, selalu membawaku pada keterpurukan panjang dan kepedihan