Apa kamu pernah merasa sepi bahkan ketika berada di keramaian?
Kata orang sepi itu damai, dan damai itu tenang. Itu benar. Di saat sepi, bagi diriku sendiri adalah waktu yang pas untuk melakukan segalanya. Melamun, menangis, tertawa, bermimpi, semuanya. Seakan bisaku lakukan begitu saja dengan mudahnya. Aku bisa menulis beratus ratus halaman ketika sepi. Aku bisa tertawa lepas, terbahak bahak jika aku mau. Menangis sesekali jika perlu. Bagiku sepi itu teman terbaik ketika menuangkan perasaanku menjadi sebuah karya. Apapun itu. Namun, seperti koin yg selalu punya dua sisi yang berbeda. Kesepian pun demikian. Bagaimana jika kau masih merasa sepi ketika nyatanya kau berada di keramaian? Belum lama tapi sungguh mengganggu. Ketika dirimu ternyata menolak keramaian yang seharusnya kau nikmati. Keramaian yang seharusnya mampu menghiburmu. Keramaian yang ah sia-sia saja, sekarang pun tetap terasa sepi. Sudahlah. Bagiku kesepian itu kata lain dari sendiri. Dan tentu saja sendiri tidak pernah lebih baik ketika kita tetap bersama.
Apa kamu pernah merasa hatimu kosong padahal ada begitu banyak hal yang kau simpan di dalamnya?
Satu kejadian yang terjadi, satu kejadian kemudian terjadi lagi, lagi, lagi dan lagi. Kejadian-kejadian itu kemudian berpilin dan membentuk bola kenangan yang tertata rapi, tersusun di dinding hati. Namun, apa jadinya jika tidak perduli berapa banyak kenangan yang kau tata, hatimu tetap terasa kosong seperti rumah yang tak berpenghuni. Hampa.
Aku tahu pada hakekatnya Tuhan menciptakan hati bukan semata-mata demi satu tujuan. Entah itu terkait masalah perasaan atau fungsinya yang lain sebagai organ tubuh. Hati adalah raja bagi tubuh manusia. Apapun yang dia rasakan tentu saja punya pengaruh hebat bagi anggota tubuh yang lain. Sesekali otak berhenti bekerja sebab hati tidak sedang dalam keadaan baik. Sesekali tubuh mogok beraktivitas sebab hati tidak tergerak untuk melakukannya. Ketika hati hampa seakan seluruh anggota tubuh pun bergeming dan tidak mau melakukan tugasnya masing-masing. Seluruh tubuh diam. Tak bergairah. Terlepas dari tujuan Tuhan menciptakan hati, aku sadar, seberapa banyak pun kenangan yang aku lalui, seberapa sering aku mengingatnya. Kenangan tetaplah kenangan. Dan hati bukan sekedar wadah untuk membuat kenangan itu tetap indah, abadi dan tahan lama. Namun hati juga tempat dimana keinginan dan kerinduan dilabuhkan. Tentu saja hati akan tetap kosong, manakala beribu-ribu kenangan yang tertata tenggelam oleh keinginan dan kerinduan. Hati akan tetap terasa hampa jika keinginan dan kerinduan itu tidak dilabuhkan. Dan sekali lagi tentu saja, tidak ada yang lebih buruk ketika diriku sendiri tak berkemampuan untuk membuat hatiku menemukan obatnya. Perkara rindu, aku tak mau membahasnya.
Pernahkah kamu terluka namun tidak ingin mengobatinya?
Bicara tentang luka, entah sudah berapa banyak bekas yang menghiasi kulit, sudah berapa banyak betadine yang kuhabiskan untuk mengobatinya, berapa banyak plester yang kupakai untuk membalurnya dan berapa botol alkohol yang kugunakan untuk membersihkannya, entah. Terlalu banyak yang datang dan pergi dan tidak sedikit yang datang kemudian menggoreskan sedikit belati hingga luka, berdarah dan bernanah kemudian berlalu.
Namun, lihatlah, di hatiku sebelah kanan, yah dilobus kanan, tidak bukan diujung hampir ditengah, kurang lebih 1/4 dari ukuran lobus kananku, kau lihat, sekarang tertancap belati, tentu saja itu mengakibatkan luka tikaman yang cukup serius apalagi jika tidak diobati. Tapi, yang kulakukan malah sebaliknya. Membiarkan luka itu tetap ternganga lebar tanpa melakukan suatu hal yang berarti. Jujur saja, kali ini aku tak ingin membersihkannya dengan sebotol alkohol atau membalurnya dengan plester. Biarkan saja luka itu begitu adanya, biarkan saja luka itu terlihat seperti ketika pertama kali tertoreh di atas lapisan kulit yang sudah puas dilahap sinar matahari. Kini luka itu kini kian parah dan mulai menggerogoti bagian hatiku yang lain. Disekitar luka tikaman mulai memerah dan perihnya pun hampir tidak bisa lagi kutahan, mungkin sedikit lagi infeksi sebab tak pernah sekali pun aku meneguk antibiotik untuk mencegahnya.
Kau sudah lihat seberapa dalam lukaku? Memprihatinkan bukan?
Tapi, jangan salah sangka dulu, aku menceritakan segalanya padamu bukan berarti aku butuh belas kasihmu. Tidak. Aku tidak butuh. Luka selalu punya alasan kenapa bisa disebut luka. Dan bagiku menyimpan luka sama dengan mencari jati diri, lebih banyak lukamu maka sebanyak itu pula dirimu harus diperbaiki. Tergantung pandangan dan caramu memotivasi diri.
End of story. Selalu ada yang harus dikambing hitamkan untuk memenuhi hasrat ketidakbersalahan manusia, dan bagiku dalang dari semua rasa yang tidak dikehendaki ini adalah kawan lama yang dalam 2 tahun terakhir menjadi sosok yang harus ku perangi.
JARAK.
Ah, kini kalian bebas mengartikannya seperti apa. Untuk melawannya, aku telah lama mengangkat bendera putih.
Kata orang sepi itu damai, dan damai itu tenang. Itu benar. Di saat sepi, bagi diriku sendiri adalah waktu yang pas untuk melakukan segalanya. Melamun, menangis, tertawa, bermimpi, semuanya. Seakan bisaku lakukan begitu saja dengan mudahnya. Aku bisa menulis beratus ratus halaman ketika sepi. Aku bisa tertawa lepas, terbahak bahak jika aku mau. Menangis sesekali jika perlu. Bagiku sepi itu teman terbaik ketika menuangkan perasaanku menjadi sebuah karya. Apapun itu. Namun, seperti koin yg selalu punya dua sisi yang berbeda. Kesepian pun demikian. Bagaimana jika kau masih merasa sepi ketika nyatanya kau berada di keramaian? Belum lama tapi sungguh mengganggu. Ketika dirimu ternyata menolak keramaian yang seharusnya kau nikmati. Keramaian yang seharusnya mampu menghiburmu. Keramaian yang ah sia-sia saja, sekarang pun tetap terasa sepi. Sudahlah. Bagiku kesepian itu kata lain dari sendiri. Dan tentu saja sendiri tidak pernah lebih baik ketika kita tetap bersama.
Apa kamu pernah merasa hatimu kosong padahal ada begitu banyak hal yang kau simpan di dalamnya?
Satu kejadian yang terjadi, satu kejadian kemudian terjadi lagi, lagi, lagi dan lagi. Kejadian-kejadian itu kemudian berpilin dan membentuk bola kenangan yang tertata rapi, tersusun di dinding hati. Namun, apa jadinya jika tidak perduli berapa banyak kenangan yang kau tata, hatimu tetap terasa kosong seperti rumah yang tak berpenghuni. Hampa.
Aku tahu pada hakekatnya Tuhan menciptakan hati bukan semata-mata demi satu tujuan. Entah itu terkait masalah perasaan atau fungsinya yang lain sebagai organ tubuh. Hati adalah raja bagi tubuh manusia. Apapun yang dia rasakan tentu saja punya pengaruh hebat bagi anggota tubuh yang lain. Sesekali otak berhenti bekerja sebab hati tidak sedang dalam keadaan baik. Sesekali tubuh mogok beraktivitas sebab hati tidak tergerak untuk melakukannya. Ketika hati hampa seakan seluruh anggota tubuh pun bergeming dan tidak mau melakukan tugasnya masing-masing. Seluruh tubuh diam. Tak bergairah. Terlepas dari tujuan Tuhan menciptakan hati, aku sadar, seberapa banyak pun kenangan yang aku lalui, seberapa sering aku mengingatnya. Kenangan tetaplah kenangan. Dan hati bukan sekedar wadah untuk membuat kenangan itu tetap indah, abadi dan tahan lama. Namun hati juga tempat dimana keinginan dan kerinduan dilabuhkan. Tentu saja hati akan tetap kosong, manakala beribu-ribu kenangan yang tertata tenggelam oleh keinginan dan kerinduan. Hati akan tetap terasa hampa jika keinginan dan kerinduan itu tidak dilabuhkan. Dan sekali lagi tentu saja, tidak ada yang lebih buruk ketika diriku sendiri tak berkemampuan untuk membuat hatiku menemukan obatnya. Perkara rindu, aku tak mau membahasnya.
Pernahkah kamu terluka namun tidak ingin mengobatinya?
Bicara tentang luka, entah sudah berapa banyak bekas yang menghiasi kulit, sudah berapa banyak betadine yang kuhabiskan untuk mengobatinya, berapa banyak plester yang kupakai untuk membalurnya dan berapa botol alkohol yang kugunakan untuk membersihkannya, entah. Terlalu banyak yang datang dan pergi dan tidak sedikit yang datang kemudian menggoreskan sedikit belati hingga luka, berdarah dan bernanah kemudian berlalu.
Namun, lihatlah, di hatiku sebelah kanan, yah dilobus kanan, tidak bukan diujung hampir ditengah, kurang lebih 1/4 dari ukuran lobus kananku, kau lihat, sekarang tertancap belati, tentu saja itu mengakibatkan luka tikaman yang cukup serius apalagi jika tidak diobati. Tapi, yang kulakukan malah sebaliknya. Membiarkan luka itu tetap ternganga lebar tanpa melakukan suatu hal yang berarti. Jujur saja, kali ini aku tak ingin membersihkannya dengan sebotol alkohol atau membalurnya dengan plester. Biarkan saja luka itu begitu adanya, biarkan saja luka itu terlihat seperti ketika pertama kali tertoreh di atas lapisan kulit yang sudah puas dilahap sinar matahari. Kini luka itu kini kian parah dan mulai menggerogoti bagian hatiku yang lain. Disekitar luka tikaman mulai memerah dan perihnya pun hampir tidak bisa lagi kutahan, mungkin sedikit lagi infeksi sebab tak pernah sekali pun aku meneguk antibiotik untuk mencegahnya.
Kau sudah lihat seberapa dalam lukaku? Memprihatinkan bukan?
Tapi, jangan salah sangka dulu, aku menceritakan segalanya padamu bukan berarti aku butuh belas kasihmu. Tidak. Aku tidak butuh. Luka selalu punya alasan kenapa bisa disebut luka. Dan bagiku menyimpan luka sama dengan mencari jati diri, lebih banyak lukamu maka sebanyak itu pula dirimu harus diperbaiki. Tergantung pandangan dan caramu memotivasi diri.
End of story. Selalu ada yang harus dikambing hitamkan untuk memenuhi hasrat ketidakbersalahan manusia, dan bagiku dalang dari semua rasa yang tidak dikehendaki ini adalah kawan lama yang dalam 2 tahun terakhir menjadi sosok yang harus ku perangi.
JARAK.
Ah, kini kalian bebas mengartikannya seperti apa. Untuk melawannya, aku telah lama mengangkat bendera putih.
post ini pengalaman pribadi ya kak
ReplyDelete