Aku pernah begitu meyakini apa-apa saja yang hadir dan masuk kedalam kehidupan kita punya alasan masing-masing sehingga kita bisa menjadi satu sosok baru yang lebih baik. Dan bagiku itu sudah menjadi hukum alam yang biasanya dihantarkan lewat orang-orang yang ada di sekitar kita. Begitulah yang kuyakini sebelum hari ini.
Setelah melewati beribu-ribu detik yang kulalui dengan otak yang dipaksa untuk berpikir keras, aku sadar, dari jejeran orang tersebut, ada satu sosok yang akan membuat kita menjadi tidak lebih baik dari diri kita yang sebelumnya. Walaupun aku sendiri begitu yakin bahwa nantinya satu sosok itu bisa menghantarkanku menjadi lebih baik diwaktu yang entah kapan. Namun, aku sungguh sangat bodoh dalam hal berbohong, apalagi membohongi diri sendiri, aku takkan bisa menyangkal bahwa memang satu sosok yang begitu kuharapkan untuk dapat membimbingku ke jalan yang lebih baik, lebih indah, lebih bijaksana adalah satu sosok yang malah menggiringku ke arah yang berlawanan.
Sejujurnya, segenap pengharapan yang telah kugantungkan takkan mungkin bisa setinggi ini jika tak ada yang menopangnya untuk tetap naik. Kata-kata, janji-janji, ah kalau diingat rasanya begitu kuat seperti kepakan sayap burung yang bisa membuatnya terbang melayang di langit lepas, begitu pasti seperti gulungan ombak yang akan tetap bermuara pada pantai, manis semanis permen kapas. Tapi yah taulah ekspektasi itu indahnya memang selangit. Dan tentu saja kenyataannya memang lebih banyak berbanding terbalik, seperti hari ini.
Dari awal, aku sudah begitu takut untuk memilihmu menjadi titik tumpu akan harapan yang begitu banyak dan tak sabar ingin dilabuhkan. Begitu banyak pertimbangan yang keluar masuk hingga tak dapat kupilah dengan baik. Sampai kuputuskan memilihmu. Awalnya, aku bahagia menjatuhkan pilihan itu padamu, hingga jam berubah menjadi hari kemudian minggu, bulan dan tahun. Aku merasakan ada yang lain, ada yang berubah. Terutama pada diriku sendiri. Perubahan itu, aku sungguh tak ingin menyebutnya di sini. Aku malu, perubahan yang membuatku tak mengenal diriku sendiri. Waktu menyingkap segalanya. Dan kemudian aku sadar, semuanya berasal dari sosok itu. Sosoknya yang menyilaukan mata, kukira berharga tapi nyatanya tajam dan beracun. Aku sungguh mempercayai dan meyakininya. Namun, tidak pernah kusangka segalanya begitu berbeda. Ah, bagaimana pun juga aku tak ingin menyalahkannya. Maaf, aku begitu egois.
Hingga paragraf terakhir ini kutuliskan. Aku merubah keyakinanku, ternyata ada orang yang memang ditakdirkan untuk membuat kita menjadi tidak lebih baik dari diri kita yang sebelumnya dan pergi tanpa berniat memperbaikinya. Barangkali, semesta bermaksud agar dengan begitu aku bisa memperbaiki diriku sendiri selepas kepergiannya. Mandiri, berdiri di atas kaki sendiri. Sudah ku coba. Namun, sungguh aku benar-benar tak bisa memperbaikinya menjadi seperti sedia kala. Aku memang payah.
Biarlah dulu begini adanya, mungkin nanti akan datang penyembuh yang dengan sudi memperbaiki apa yang telah dirusaknya hingga busuk dan bernanah. Semoga saja ada yang begitu ikhlas untuk membalut dan merawatnya hingga menjadi baik walau mungkin menyisakan bekas. Begitu saja sudah cukup tidak perlu menjadi seperti sebelumnya karna toh sesuatu yang rusak memang tidak akan kembali persis seperti wujud aslinya. tidak apa-apa, asalkan sembuh, begitu saja sudah cukup.
Comments
Post a Comment