Rasanya baru saja tersambar petir. Tak pernah merasa lebih sakit dari saat ini.
Harapan. Terlalu tinggi angan yang digelantungkan. Pantas saja saat jatuh sakitnya mengiris sembilu.
Harapan. Terlalu tinggi angan yang digelantungkan. Pantas saja saat jatuh sakitnya mengiris sembilu.
Kau menyayatnya lagi. Sayatan yang sama dengan yang selalu kau lakukan pada korban-korban masa lampaumu. Sayangnya, aku tak cukup kuat untuk menghindar dari sayatan demi sayatan yang terus kau berikan. Aku pasrah, bukan karna aku menyerah. Tapi, aku tak tahu bagaimana caranya menghindarimu, karna menghindarimu membuatku lebih tersiksa.
Kau angkat sampai menyentuh lapisan langit, dibiarkan melayang hingga merasa seperti terbang, kemudian kau lepas hingga jatuh tergeletak. Coba tebak, kenapa hatiku jauh lebih sakit dibandingkan tubuhku? aku perlu jawabanmu untuk sekedar menguatkan diri sendiri, karna sejauh ini aku sendiri tak bisa memprediksikan jawabannya.
Tanyamu, kenapa aku begitu terluka?
Kenapa tidak kau tanyakan saja pada malam, malam yang selalu menemani hingga mataku lelah terjaga akibat harapan yang terus menerus kau bisikkan lembut. Aku terbuai. Hingga harapanmu membangun dunia fantasi dalam tidur lelapku beberapa hati terakhir.
Kenapa tidak kau tanyakan saja pada bantal panjang, bantal panjang yang selalu menjadi muara kepalaku berencana akan harapan yang masih terus kau tawarkan lewat janji-janjimu. Hingga semuanya teramat nyata padahal harapan itu angan. Omong kosong.
Kenapa tidak kau tanyakan saja pada dinding kamar, dinding kamar yang menjadi saksi tiap senyum gembira yang selalu aku sunggingkan saat mengingat harapan itu jadi suatu hal yang nyata. Hingga tak pernah lelah aku terus menata sabar untuk menunggu hari dimana janji itu bukan sekedar dunia fantasi.
Dan nyatanya, kamu pemain. Pemain ulung yang melegenda. Kini kamu berhasil menjadi juara 1 hingga membuat tensi naik lebih dari 30% di atas normal. Sayangnya aku, aku pernah menguatkan asa untuk tidak mempercayai keunggulanmu dalam bermain. Dan aku percaya. Bodoh sekali.
Untungnya, untung sekali. Aku sudah terbiasa dengan indahnya rasa sakit. Tidak tahu belajar dari mana dan siapa. Tapi terasa seperti kata 'Terserah'. Iya, terserah jadinya bagaimana. Walau tetap saja dada masih terasa sesak. Sangat bahkan.
Bukankah sabar pun ada tepinya? Aku manusia bukan nabi yang selalu
mulia. entah dimatamu atau dibalik mata manusia lain. Bukankah kita sama
saja?
Ini yang terakhir menaruh harap padamu, Manusia dengan suntikan harapan rekayasa. Ratu penebar kepalsuan. Bellatrix dengan mantra Imperius. Dan penyihir dengan tongkat tipu daya.
Ini cerpen terinspirasi gitu, ya?
ReplyDeleteIya terinspirasi dari kejadian sehari-hari 😄
DeleteWow!
ReplyDelete